SUARA MAMBESAK - Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan RI menunjukkan statistik Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia kepada China meroket hingga 59 persen. Dari 5 kreditor besar Indonesia, hanya utang ke Cina saja yang mengalami kenaikan dalam jangka waktu setahun.
Anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan mengaku prihatin akan kebijakan pemerintahan Jokowi saat ini.
“Hanya ada satu kata, prihatin! Sudah kesekian kali kita mengingatkan pemerintah untuk tidak jor-joran menumpuk utang. Tapi sepertinya pemerintah punya cara pikir yang berbeda. Kita tidak tahu persis apa yang ada dalam isi kepala pemerintah sekarang ini. Apakah ini kebijakan ekspansi, ataukah kebijakan dari para pemburu rente, sementara kebijakan di dalam negeri dibuat kontraksi,” ujar Heri di Jakarta, Rabu (23/3).
Politikus Partai Gerindra ini mengatakan, naiknya ULN kepada China hingga 59 persen membenarkan dugaan bahwa pemerintah sekarang sungguh-sungguh memosisikan dirinya sebagai ‘pelayan yang baik’ bagi negeri tirai bambu itu.
“Pertanyaannya mengapa tidak ada penjelasan yang detail. Pemerintah terkesan menutup-nutupi,” kata Heri.
Selama ini, lanjut Heri, banyak kasus ULN kepada China yang misterius. Seperti, pinjaman kepada 3 Bank BUMN (Mandiri, BRI, BNI) dan lain-lain. Hingga hari ini pun tidak ada penjelasan yang memuaskan dari pemerintah.
“Saya khawatir, dengan tidak adanya penjelasan yang komprehensif, pas kita bangun besok pagi, Semakin menegaskan negara ini sudah tergadai,” cetusnya.
Heri mengungkapkan, dengan posisi seperti ini, negara sedang dihadapkan dengan naiknya rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB). Hari ini PDB sudah di atas 30 persen, sementara posisi debt service ratio (DSR) terus meningkat di atas 50 persen.
“Artinya, beban utang bangsa ini semakin besar dan berat. Lebih dari setengah pendapatan ekspor hanya habis untuk membayar utang ke asing,” ungkap dia.
Menurutnya, beban yang harus dibayar negara akan terasa lebih berat lagi di tengah buruknya kinerja ekspor nasional.
“Kita semua tahu, penerimaan ekspor Indonesia, baik migas maupun nonmigas semakin menurun,” pungkasnya.
Heri menambahkan, Data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) 2015 menunjukkan bahwa neraca perdagangan migas tercatat defisit sebesar USD1,2 miliar, lebih rendah 55,2 persen. Sedangkan neraca perdagangan nonmigas hanya surplus sebesar USD4,3 miliar atau lebih rendah dari surplus triwulan sebelumnya sebesar USD5,2 miliar.
“Kondisi itu seharusnya menjadi ‘alarm’ bagi pemerintah. Peringatan keras yang bisa membuka mata dan hati pemerintah untuk tidak terus-menerus mencari jalan pintas dengan berhutang. Kabinet yang gembar-gembor dengan slogan ‘Kerja, Kerja, Kerja’, ditugaskan bukan untuk menggadaikan negeri ini kepada asing,” tandas Heri. [akt]
Tidak ada komentar: