suara mambesak_ Presiden Joko Widodo di ingatkan agar kebijakan pembangunannya tidak
hanya Jawa-sentris, tapi Indonesia-sentris. Ini termasuk visi membangun dari
pinggir.
Papua harus menjadi salah satu konsentrasi
Presiden, termasuk visi membangun kereta api dan jalan yang menghubungkan dari
satu wilayah ke wilayah lain.
Selama ini, pembangunan Papua dipayungi dalam
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus. Namun, puluhan tahun
berlalu, kini undang-undang itu dianggap harus direvisi.
Pemerhati Papua, Moksen Sirfefa, mengatakan,
kalau berpatokan pada UU No.21 itu, ada sembilan sektor strategis pembangunan.
Untuk itu, rakyat Papua, menurut Moksen, sudah meminta Presiden Jokowi untuk
melakukan revisi.
Bahkan, setelah mengumpulkan daftar masalah
menyangkut pembangunan Papua, pihaknya mengajukan draf revisi. Di mana, ada 25
sektor strategis pembangunan di Papua. Menurutnya, itu sejalan dengan keinginan
Presiden Jokowi dalam membangun tanah Papua.
“Saran saya kepada pemerintah khususnya
kementerian-kementerian terkait untuk meninjau kembali draf Revisi UU Otsus
ini. Tinggal dimatching-kan saja. Yang penting kalau mau mengetahui keinginan
rakyat Papua sekarang, maka bacalah revisi UU ini,” ujar Moksen dalam
keterangan persnya, Minggu (7/2).
Dengan begitu, lanjut dia, program pemerintah
pusat untuk membangun Papua, tidak salah sasaran. Sebab, apa yang diinginkan
pemerintah setidaknya berdasarkan kebutuhan rakyat Papua. Sehingga, lanjut dia,
ada sinergi positif antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi hingga
kabupaten/kota.
Dia mencontohkan, rencana Jokowi membangun
kereta api di Papua. Menurutnya, membangun kereta itu tidak bisa langsung
membangun seperti yang dilakukan di Jawa maupun sekarang di Sumatera. Sehingga,
pembangunan ini harusnya ada komunikasi dengan rakyat Papua. Termasuk,
membangun konektivitas Papua melalui jalan darat.
Menurut Moksen, Jokowi pun mengakui, akibat
transportasi yang tidak terkoneksi, maka harga-harga juga menjadi sangat mahal.
Jokowi pernah mencontohkan, harga semen saja satu sak bahkan menembus jutaan
rupiah. Sehingga menurutnya, dalam draf revisi UU Otsus ini, juga sudah
tercantum visi besar membangun Papua, seperti yang diharapkan Presiden Jokowi.
“Membangun konektivitas antar kabupaten kota
yang selama ini menjadi problem di Papua. Termasuk rencana Presiden membangun
infrastruktur rel kereta dan sebagainya, ini menjawab, di butir-butir revisi UU
ini,” ujarnya.
Sementara itu, pakar hukum Margarito Kamis
menyarankan Gubernur Papua dan Papua Barat menemui Presiden dan menyampaikan
pembangunan di Papua harus ada kerangka hukumnya. Karena Papua adalah spesial,
maka harus ada kerangka spesial, yakni diletakan dalam UU.
“Itu yang harus diyakinkan kepada Presiden.
Siapa tahu Presiden menganggap mimpi dia untuk percepatan pembangunan
infrastruktur di Papua bisa segera terwujud dengan didukung dengan UU Otsus
ini,” kata Margarito.
Direktur Riset Akbar Tandjung Institute, Alfan
Alfian, sepakat Bahwa Gubernur Papua dan Papua Barat sebaiknya menegosiasikan
hal ini kepada Presiden Jokowi.
“Saya setuju dengan Margarito, ada negosiaasi
dengan Presiden. Jelaskan bahwa konsep kami lebih realistis dan komprehensif,
meyakinkan bahwa pemerintah Papua memiliki konsep yang realistis,” tuturnya.
Alfan menilai selama ini Jokowi melakukam
pendekatan populis. Menurutnya, belakangan ini banyak kalangan mengkritisi
kebijakan pembangunan infrastruktur seperti dari aspek lingkungan, HAM dan lain
sebagainya.
“Jadi, obsesi pembangunan infrastruktur bagus,
tapi realitasnya juga dilihat, tidak terbatas obsesi tapi juga dilakukan secara
mandiri
sumbernya :
http://awepaii.blogspot.co.id/2016/03/pemerintah-harus-pahami-keinginan-warga.html
Tidak ada komentar: